Selasa, 23 April 2019

My Experiental Learning Story - About Yogyakarta Culture

Hellooooo, kami dari kelompok Sunshine yang beranggotakan Frans, Maman, Calvin, Radifan, David, Diana dan Arini akan menceritakan pengalaman kami pada saat berkunjung di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada hari Jumat, 01 Maret 2019. Kami berangkat dari PPPPTK Matematika pada pukul 08.00 WIB dan sampai di pintu masuk utama Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada pukul 08.20 WIB. Sesampainya disana kami disambut oleh para fasilitator dari Kubik Leadership dan mereka langsung mengarahkan kami untuk menemui abdi dalem yang bernama Romo Mas Rio Yudho Sabono. Beliau merupakan pensiunan PNS Polres Yogya tahun 2008. Beliau saat ini menjabat sebagai abdi dalem Punokawan. Sesi diskusi kami dilakukan bersama Romo Mas Rio di Bangsal Trajumas dan berikut ini merupakan hasil diskusi yang kami lakukan:



Sosial dan Budaya / Tradisi
Yogyakarta adalah salah satu daerah yang terkenal dengan budayanya, salah satunya adalah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan) dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Kemudian Keraton juga memiliki tiga lapis tembok yaitu Benteng, Cepuri dan Baluwurti. Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
Berdasarkan hasil diskusi yang kami dapatkan dari Romo Mas Rio, beliau menjelaskan tentang hal – hal sebagai berikut:

a. Tingkat Kepangkatan Abdi Dalem
Bagi pihak luar yang ingin mengabdikan diri menjadi Abdi Dalem, Keraton harus melalui “magangan” terlebih dahulu, setelah itu barulah mendapatkan gelar sesuai dengan tingkat kepangkatan sebagai berikut:
• Jajar 

• Bekel Anom
• Bekel Sepuh  
• Lurah 
• Penewu 
• Wedono 
• Riya Bupati 
• Bupati Anom 
• Bupati Sepuh 
• Bupati Kliwon 
• Bupati Nayoko 
• Pangeran Sentana

b. Syarat Kenaikan Pangkat
Untuk mendapatkan kenaikan pangkat terdapat beberapa aspek penilaian yang dapat mempengaruhi jenjang kenaikan pangkat seorang Abdi Dalem. Penilaian ini meliputi rajin atau tidaknya Abdi Dalem untuk sowan ke keraton, memiliki perilaku yang baik, dan rajin dalam melaksanakan tugasnya. Bukan tidak mungkin seorang Abdi Dalem dapat ditunda kenaikan jabatannya jika tidak menjalankan tugas dengan baik dan jarang sowan ke keraton.
Selain kenaikan pangkat regular setiap 3 atau 4 tahun sekali, seorang Abdi Dalem yang memiliki latar belakang pendidikan dan keahlian tertentu bisa mendapatkan kenaikan pangkat setiap tahun. Kenaikan tiap tahun ini dapat diperoleh hingga menjadi wedono. Setelah mencapai wedono, Abdi Dalem tersebut akan mengikuti jenjang kenaikan pangkat reguler layaknya Abdi Dalem yang lain.
Setiap kenaikan pangkat yang diperoleh seorang Abdi Dalem akan meningkatkan tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Abdi Dalem yang memiliki jabatan yang lebih tinggi pun harus bisa menjadi pimpinan bagi Abdi Dalem yang ada di bawahnya. Tentunya tugas yang diberikan ini akan disesuaikan dengan latar belakang pendidikan dan kecakapan dari Abdi Dalem tersebut. Penyesuaian ini bertujuan agar tatanan dan roda pemerintahan di dalam keraton tetap berjalan dengan baik.

c. Sifat yang wajib dimiliki Abdi Dalem
Untuk menjadi seorang Abdi Dalem harus memiliki jiwa ksatria yang meliputi:

- Nyawiji (total, fokus dan berserah diri kepada tuhan YME)
- Greget (Semangat dalam bekerja)
- Sengguh (percaya diri : penampilan baik, tutur kata sopan dan tidak kecil hati dalam menghadapi orang lain)
- Ora mingkuh (tanggung jawab atas setiap pekerjaan atau tugas yang diemban)

d. Pergeseran Budaya Keraton
Semakin berkembangnya zaman terdapat beberapa perbedaan atau pergeseran budaya di dalam keraton, yakni:
- Penggunaan alat komunikasi yang lebih modern tidak lagi harus menemui sultan secara langsung jika ingin membuat janji
- Sistem komputerisasi yang dulunya menggunakan mesin ketik sekarang sudah menggunakan PC atau Laptop.

e. Fakta lain seputar kraton
- Apabila seseorang yang tidak memiliki silsilah dalam kesultanan keraton namun telah ditetapkan menjadi seorang abdi dalem, maka dia akan mendapatkan gelar “Mas” dari kepatihan. Sedangkan untuk seseorang yang merupakan keturunan atau memiliki silsilah dalam kesultanan dan telah ditetapkan menjadi abdi dalem, dia akan mendapatkan gelar “Raden”.

- Untuk perempuan yang telah ditetapkan menjadi abdi dalem ia akan dipanggil dengan sebutan kepara.
- Terdapat istilah-istilah untuk pengabdian abdi dalem ketika seorang abdi dalem ingin mengakhiri masa baktinya dengan Kraton Yogyakarta, antara lain:
1. Miji Woyo : Pamit ketika sudah tidak kuat lagi menjadi abdi dalem.
2. Miji Pocot : Diberhentikan karena kesalahan yang ia perbuat.
3. Miji Tumpu : Jika sudah tidak punya keinginan lagi untuk mengabdi.
- Abdi dalem tidak menggunakan alas kaki ketika berada di lingkungan kraton dikarenakan alasan kesehatan yakni untuk melancarkan peredaran darah agar abdi dalem dapat hidup lebih sehat.

Ekonomi dan Hukum
Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk menjualnya.

Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah 1830, adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula ada 20 buah pada tahun 1839 meningkat menjadi 53 pada tahun 1880 seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.
Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta, terdapat empat macam badan peradilan, yaitu Pengadilan Pradata, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.
• Pengadilan Pradata merupakan pengadilan sipil yang menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
• Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat antara pegawai kerajaan.
• Al Mahkamah Al Kabirah atau yang sering disebut dengan Pengadilan Surambi adalah pengadilan syar’iyah yang berlandaskan pada Syariat (Hukum) Islam. Pengadilan ini merupakan konsekuensi dari bentuk Pemerintahan Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah dan waris, serta jinayah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.

• Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Pancaniti merupakan pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang menangani urusan yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.
Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadasa, Angger Gunung, Angger Nawala Pradata Dalem, Angger Pradata Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng. Seiring dengan berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH pun diganti dengan KUH Belanda seperti Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Strafrecht.
Menurut Mas Rio terdapat tiga aturan utama yang diterapkan di dalam Keraton, antara lain Saling menjaga kesantunan, Menghargai proses alamiah untuk menjaga kebatinan dan keharmonisan dengan alam sekitar. 


Konten sama dengan https://sunshinetugure19.blogspot.com/2019/03/my-experiental-learning-story-about_1.html karena ini adalah tugas pembuatan blog kelompok :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar