BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Bank merupakan
lembaga intermediasi yang bertugas menerima simpanan dari nasabah dan
meminjamkannya kepada nasabah (unit ekonomi) lain yang membutuhkan dana. Atas
simpanan masyarakat, bank memberikan imbalan berupa bunga. Demikian pula, atas
pemberian pinjaman (kredit) bank mengenakan bunga kepada para peminjam. Dengan
kata lain bank sebagai lembaga keuangan yang berfungsi menghimpun dan
menyalurkan dana dari dan ke masyarakat untuk meningkatkan pelayanan kepada
para nasabah tanpa mengabaikan etika perbankan.
Salah satu
kegiatan utama bank adalah menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk
kredit. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa perkreditan merupakan aktivitas
terbesar pada perbankan. Besarnya jumlah kredit yang disalurkan akan menentukan
keuntungan bank. Jika bank tidak mampu menyalurkan kredit sementara dana dari
masyarakat banyak disimpan, maka alternative
lain bank bisa menyalurkan dananya melalui pasar uang maupun pasar modal. Hal
ini dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang maksimal. Apabila bank tidak
melakukan alternative lain selain
menyalurkan kredit maka bank akan mengalami kerugian, karena harus membayar
bunga simpanan kepada masyarakat.
Data Bank
Indonesia menunjukan bahwa total kredit yang disalurkan perbankan mulai
mengalami peningkatan. Hingga Oktober 2016, nilai kredit mencapai Rp 4.246,6
triliun. Nilai kredit mengalami pertumbuhan sebesar 7,4% dibandingkan tahun sebelumnya
yaitu pada tahun 2015 (kompas.com 2016).
Perkembangan
ekonomi yang semakin global tentu membawa peluang dan risiko yang semakin
besar. Risiko kredit merupakan masalah besar bagi dunia perbankan, dan lembaga
keuangan pada umumnya. Dengan demikian, risiko kredit perlu mendapatkan
perhatian yang khusus. Setiap rupiah yang tidak tertagih menjadi kredit macet,
yang kemudian menimbulkan biaya penyisihan dalam laporan laba/rugi.
Kredit disamping
memberikan sumbangan terbesar terhadap laba, kredit juga merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan rapuhnya usaha perbankan yaitu dengan tingginya risiko
kredit. Risiko terkait dengan adanya ketidakpastian. Risiko kredit ditimbulkan
oleh debitur yang secara kredit tidak dapat membayar utang dan memenuhi
kewajiban seperti tertuang dalam kesepakatan atau turunnya kualitas debitur
atau pembeli sehingga persepsi mengenai kemungkinan gagal bayar semakin tinggi.
Risiko kredit perlu dikelola dengan baik karena apabila tidak dikelola dengan
baik maka akan mengakibatkan proposi kredit yang bermasalah semakin besar,
sehingga akan berdampak pada kondisi perbankan.
Pengendalian
pada Risiko kredit tentu dilakukan oleh setiap bank. Pengendalian tersebut
diantisipasi oleh kualitas suatu sistem manajemen risiko kredit yang baik untuk
meminimalkan risiko kredit. Pengetahuan mengenai manajemen risiko kredit sangat
penting dan berguna sebagai salah satu input alternative dalam mempertahankan
kondisi perbankan agar tetap stabil.
1.2
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah
makalah ini antara lain:
1.
Apa pengertian risiko kredit?
2.
Bagaimana jenis risiko kredit?
3.
Bagaimana proses pengukuran resiko
kredit berdasarkan Banking for
International Settlement (BIS)?
4.
Bagaimana cara manajemen resiko kredit?
1.3
Tujuan
Rumusan
masalah makalah ini antara lain:
1. Mengetahui
pengertian dari risiko kredit.
2. Mengidentifikasi
jenis risiko kredit
3. Mengetahui
pengukuran resiko kredit berdasarkan Banking
for International Settlement (BIS)
4. Mengetahui
cara manajemen resiko kredit
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Resiko Kredit
Menurut Hardanto
(2006), mengemukakan bahwa risiko kredit adalah risiko kerugian yang
berhubungan dengan peluang gagal memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo.
Dengan kata lain, risiko kredit adalah risiko karena peminjam tidak membayar
utangnya. Risiko kredit timbul dari beberapa kemungkinan sebagai berikut :
a.
Debitur tidak dapat melunasi utangnya.
b.
Obligasi yang dibeli Bank, tidak
membayar kupon dan atau pokok utang.
c.
Terjadinya non-performance (gagal bayar)
dari semua kewajiaban antara bank dengan pihak lain.
Besarnya risiko kredit terdiri dari dua faktor yaitu
besarnya eksposur kredit dan kualitas eksposur kredit. Besarnya eksposur kredit
sama dengan besarnya pinjaman itu sendiri. Semakin besar pinjaman semakin besar
juga tingkat eksposur kredit. Kualitas eksposur dicerminkan oleh kemungkinan
gagal bayar dari debitur secara kredit dan kualitas dari jaminan yang diberikan
oleh debitur atau pembeli kredit. Semakin rendah kualitas jaminan, semakin
rendah kualitas kredit maka semakin tinggi risiko kredit yang dihadapi
(Djohanputra 2004).
Menurut Sastradipoera (2001), risiko kredit
merupakan salah satu risiko yang umum dihadapi oleh bank dalam pemberian
kredit. Risiko kredit mengambil bagian terbesar dalam kegiatan perbankan karena
pemberian pinjaman dan investasi merupakan bagian terbesar dalam aktiva bank.
a. Risiko
kredit timbul karena ketidakpastian pelunasan pinjaman oleh debitur. Kegagalan
memenuhi perjanjian pelunasan sebagian atau seluruhnya.
b. Risiko
kredit merupakan risiko yang disebabkan oleh investasi yang tidak memberikan
pendapatan atau bisa dikatakan risiko yang mengakibatkan pengurangan aktiva
modal.
2.2
Jenis
Resiko Kredit
Berdasarkan counterparty,
risiko kredit dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. risiko
kredit pemerintahan (sovereign credit risk)
Risiko kredit pemerintahan
berhubungan dengan Pemerintah suatu negara yang tidak mampu membayar pokok dan
bunga pinjamannya pada saat jatuh tempo, terutama pinjaman bilateral
antarnegara.
2. risiko
kredit korporat (corporate credit risk)
Risiko kredit korporat adalah
risiko gagal bayar dari perusahaan yang menerbitkan surat utang, gagal bayar
dari perusahaan yang telah memperoleh kredit, serta gagal bayar dari perusahaan
memperoleh penyertaan modal. Risiko korporat lebih berisiko dan lebih sering terjadi
dalam Bank.
3. risiko
kredit konsumen (retail customer credit
risk)
Risiko kredit konsumen adalah
risiko kredit yang terkait dengan ketidakmampuan debitur perorangan dalam
menyelesaikan pembayaran kreditnya.
Berdasarkan perbedaan menurut counterparty-nya
seperti dijelaskan di atas, dapat dijelaskan lebih dalam bahwa risiko kredit
konsumen membatasi pada pemberian kredit konsumen individu yang digunakan untuk
tujuan konsumtif dan dalam hal ini sumber pengembalian kredit tidak berasal
dari objek yang dibiayai. Sedangkan berdasarkan komponen utama dari risiko
kredit, terbagi menjadi tiga komponen, yakni:
1. probability of default,
adalah kemungkinan debitur gagal untuk melakukan pembayaran sesuai yang
diperjanjikan
2. recovery rate,
adalah bagian yang dapat diterima Bank apabila debitur default
3. credit exposure,
adalah hal-hal yang berkaitan dengan jumlah pinjaman pada saat terjadi default
2.3
Pengukuran
Resiko Kredit Berdasarkan Banking for
International Settlement (BIS)
Sebelum
liberalisasi keuangan pada tahun 1970-an dan 1980-an regulasi keuangan yang
dilakukan terfokus pada pemberian izin mendirikan lembaga keuangan; pembatasan
yang tegas mengenai aktivitas yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan pada
masing-masing institusi keuangan; definisi dari rasio-rasio pada neraca dan
persyaratan giro wajib minimum. Pemecahan masalah dari regulasi diatas mulai
dipikirkan sejak pertengahan dekade 1970-an.
Pendekatan
“pengawasan dengan prinsip kehati-hatian” mulai dipertimbangkan dalam melakukan
regulasi. Pemikiran mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian ini menjadi dasar
munculnya ide para Banker internasional untuk keseragaman regulasi secara
internasional yang dinamakan Basel Accord.
Komite Basel (The Basel Committee)
dicetuskan tahun 1974 dengan diprakarsai oleh para gubernur Bank Sentral
negara-negara yang tergabung dalam G10 (the
Group of Ten). Komite Basel pertama kali mempublikasikan The First Basel Capital Accord (BASEL I)
pada tahun 1988 dan The Second Basel
Capital Accord (BASEL II) pada tahun 2004.
Dalam ketentuan
Basel I, rasio kecukupan modal hanya dikaitkan dengan risiko kredit dengan
didasari oleh beberapa kalkulasi yang terdiri dari:
-
Bobot risiko aktiva dan bobot risiko
-
Penyetaraan dengan risiko kredit
-
Target rasio modal dan kalkulasi
konsumsi modal yang memenuhi syarat
-
Kecukupan hasil pada modal yang memenuhi
syarat
-
Struktur modal
Berdasarkan Basel I, Bank perlu memiliki kecukupan
modal, karena:
-
Merupakan unsur terpenting bagi Bank
dalam menjaga solvabilitas.
-
Modal merupakan sumber untuk menyerap
kerugian Bank
-
Modal merupakan nilai investasi pemegang
saham di Bank.
Basel I menentukan besarnya minimum rasio modal
adalah 8%. Formula Rasio Modal :
Untuk pendekatan yang terdapat dalam Basel II
berbeda secara mendasar dibandingkan dengan Basel I. Perbedaan ini terlihat
dalam Tabel 2.1. berikut ini.
Tabel 2.1.
Perbandingan Basel I dengan Basel
II
BASEL I
|
BASEL II
|
Fokus pada sebuah pengukuran tunggal
Bank yang berbeda-beda
|
Fokus pada internal metodologi
|
Memiliki pendekatan yang sederhana
terhadap sensitivitas risiko
|
Memiliki tingkat sensitivitas risiko
yang lebih tinggi
|
Menggunakan pendekatan ”one single
size fits all” pada risiko dan modal
|
Fleksibel untuk disesuaikan terhadap
kebutuhan
|
Hanya mencakup risiko kredit dan
risiko pasar
|
Mencakup risiko kredit, risiko pasar,
risiko operasional, dan risiko lain-lain
|
Sumber: Global Association of Risk Professional (GARP), Basel II
Basel II menggunakan pendekatan baru untuk penilaian
dan pengawasan Bank. Basel II adalah rekomendasi hukum dan ketentuan perbankan
kedua yang merupakan penyempurnaan Basel I. Dalam Basel II mencakup tiga konsep
yang dikenal Tiga Pilar, yakni:
· Pilar
1 – Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (Minimum
Capital Requirement). Dalam pilar ini, Bank diminta untuk mengkalkulasi
modal minimum untuk risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional.
Risiko
kredit dihitung dengan Standardized
Approach dan Internal Rating Based (IRB) Approach yang terdiri dari Foundation
IRB Approach dan Advanced IRB
Approach. Risiko pasar dihitung dengan Standardized
Approach dan Internal Model Approach.
Risiko operasional dihitung dengan Basic
Indicator Approach, Standardized
Approach, dan Advanced Measurement
Approach.
· Pilar
2 – Tinjauan Berdasar Regulasi (Regulatory
Overview). Pilar 2 fokus terhadap berbagai persyaratan modal diatas tingkat
minimum yang dihitung pada Pilar 1, dan tindakan awal yang perlu dilakukan
untuk menghadapi emerging risk. Pilar
2 mengandung tiga area utama sebagai berikut:
a. Risiko
konsentrasi kredit yang diberikan oleh Bank
b. Interest
rate in the Banking book risk.
c. Risiko-risiko
lain seperti risiko reputasi, risiko bisnis, risiko strategis, serta risiko
yang timbul dalam menjalankan usaha Bank
· Pilar
3 – Disiplin Pasar yang Efektif (Effective
Use of Market Discipline) sebagai pengungkit untuk memperkuat keterbukaan
dan mendorong agar Bank lebih aman dalam prakteknya.
2.4
Manajemen
Resiko Kredit
Menurut
Djohanputra (2004), Ada beberapa cara pengelolaan risiko kredit, diantaranya:
a. Penyaringan
Cara ini menekankan pada pencegahan
agar gagal bayar terhindar. Perlu tim yang baik untuk melakukan analisis dan
pemeringkatan nasabah sehingga nasabah yang melakukan moral hazard dan moral
hazard bisa dikeluarkan dari daftar calon nasabah.
b. Program
Pembatasan
Perusahaan menetapkan kebijakan
untuk membatasi besarnya kredit yang diterima oleh satu nasabah atau satu grup
nasabah. Dunia perbankan mengenal BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) atau
3L (Legal Leding Limit) yang bertujuan untuk membatasi pemberian kredit yang
berlebihan kepada nasabah.
c. Diversifikasi
Kredit Perusahaan menetapkan
kebijakan mengenai diversifikasi pinjaman yang dikaitkan dengan pembatasan
diatas. Kebijakan diversifikasi dapat berupa:
-
Sebaran kredit berdasarkan perusahaan.
-
Sebaran kredit berdasarkan industri.
-
Sebaran kredit berdasarkan ukuran
perusahan.
-
Sebaran kredit berdasarkan sektor.
2.5
Studi
dan Analisis Kasus
Studi
Kasus
Kasus kredit macet yang dilakukan oleh salah satu nasabah Bank Danamon unit
cabang kalangbret, tulungagung, jawa timur. Nasabah atas nama Titin setyani
yang beralamatkan di desa Tambaksari, tulungagung. Nasabah ini mengajukan
kredit pada bank danamon sebesar 15 juta tanpa jaminan dengan angsuran Rp
880.000/bulan dalam jangka waktu 24 bulan atau 2 tahun.
Pinjaman ini digunakan untuk modal usaha pengembangan usaha konveksinya.
Pada angsuran pertama sampai angsuran ke 8 lancar dan dapat dipenuhi, tetapi
pada angsuran berikutnya usahanya mengalami kebangkrutan dengan alasan banyak
pelanggan yang berhutang padanya dan tidak membayar hutangnya pada bu Tintin
ini. Disini ada kesalahan dalam pengaturan menajemen keuangan dalam usaha yang
dilakukan oleh bu Titin ini.
Dikarenakan nasabah ini yang pada akhirnya menunggak ansuran setelahnya,
pada bulan ke 4 tunggakan, dari pihak Bank mendatangi nasabah tersebut dan
mencoba mencari jalan keluar yang bisa di tempuh kedua pihak.
Dari pihak Bank menawarkan pembayaran kekurangan tunggakan tersebut dengan
cara memperpanjang tenggang waktu pembaaran dengan pengurangan nominal angsuran
yang harus di bayar setiap bulannya, yakni sebesar Rp 650.000/ bulan hingga kurangan tunggakan
tersebut terpenuhi.
Tetapi kenyataannya karena si nasabah tersebut terbelit hutang dimana-
mana, sehingga angsuran tersebut tidak terpenuhi juga dan hingga akhirnya
nasabah ini pergi keluar kota dengan alasan kerja di loar kota guna membayar
hutang- hutang nya.
Yang disayangkan dari pihak bank tersebut tidak meminta jaminan ketika
memberikan kredit pada si nasabah ini. Sehingga, tidak ada barang digunakan
oleh pihak bank untuk pelunasan dari kredit yang diberikan pada nasabah.
Analisis kasus
Dari kasus diatas dapat dikatakan sebagai kredit macet, karena menurut
pendapat Suparmono (1997),
Kredit macet adalah suatu keadaan dimana seorang nasabah tidak mampu membayar
lunas kredit bank tepat pada waktunya.
Keadaan di atas dalam hukum perdata disebut ingkar janji atau wanprestasi.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa :
a.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b.
Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak
sebagaimana yang dijanjikan.
c.
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
Jika dihubungkan dengan kredit macet ada 3 poin yang berkenaan dengan
wanprestasi di atas:
a.
Debitur sama sekali tidak bisa membayar angsuran
kredit.
b.
Debitur membayar sebagian saja angsuran kredit.
c.
Debitur membayar lunas setelah jangka waktu
diperjanjikan berakhir (terlambat).
Jadi pada intinya kredit macet merupakan kredit bermasalah dimana
karena suatu hal seorang debitur mengingkari janji mereka membayar kredit yang
telah jatuh tempo sehingga terjadi keterlambatan atau sama sekali tidak ada
pembayaran maka timbulah apa yang disebut kredit macet.
Dari kasus diatas dapat diketahui dalam proses pekreditan tersebut terjadi
kealpaan dalam hal penyertaan jaminan. Sehingga menimbulkan celah besar,
sehingga terjadi kredit macet dalam pelaksanaannya.
Dengan tidak adanya jaminan dalam pekreditan ini, membuat beberapa unsur
fungsi dari adanya jaminan sendiri hilang yang akhirnya menimbulkan terjadinya
kredit macet tersebut, unsur yang hilang dari fungsi jaminan kredit diantaranya
adalah sebagai berikut:
a. Tidak adanya
hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari agunan apabila
debitur melakukan cedera janji, yaitu untuk membayar kembali utangnya pada
waktu yang telah diperjanjikan sebelumnya.
b. Semakin
besarnya kemungkinan nasabah untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan
merugikan diri sendiri atau perusahaannya.
c. Tidak adanya
dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya khususnya mengenai pembayaran
kembali sesuai dengan syarat- syarat yang telah disetujui agar debitur dan/atau
pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan
kepada bank.
Sebab- sebab inilah yang pada akhirnya dijadikan
peluang untuk nasabah tidak memenuhi tanggungannya. Selain mungkin diawal tiak
ada maksud dari nasabah untuk melakukan tindakan lari dari tangggungan, tetapi
karena adanya peluang semacam inilah yang merugikan pihak bank sendiri.
Dalam pemberian kredit, suatu bank pada hakikatnya
harus menganut asas “mengambil resiko sekecil mungkin”. Risiko yang dimaksud
adalah risiko terhadap kemungkinan nasabah tidak melunasi tanggungannya terhadap
kreditur atau pihak bank itu sendiri.
Kaitannya dengan mengambil resiko sekecil mungkin
dalam hal pemberian kredit tersebut sudah termaktub sebelumnya dalam keputusan
Bank Indonesia dalam surat Direksi Bank Indonesia Nomor 27/127/KEP/DIR tanggal
31 Maret 1995 tentang kewajiban penyusunan dan Pelaksanaan Perkreditan Bank
bagi bank umum, yang kemudian disebarluaskan melalui Surat Edaran Bnak
Indonesia Nomor 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 perihal Kewajiban Penyusunan
dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank Umum. Dalam ketentuan ini disebutkan
setiap Bank Umum harus dan wajib memiliki Kebijakan Perkreditan Bank (KPB)
secara tertulis dan disetujui oleh dewan komisaris bank, yang minimal harus
mencakup beberapa aspek yang telah ditentukan dalam Pedoman Penyusunan
Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB). Yang meliputi:
1) Prinsip
kehati- hatian dalam perkreditan
2) Organisasi
dan manajemen perkreditan
3) Kebijakan
persetujuan kredit
4) Dokumentasi
dan administrasi kredit
5) Pengawasan
kredit
6) Penyelesaian
kredit bermasalah
Aspek yang hilang dari kasus diatas adalah kurangnya
penerapan aspek prinsip kehati- hatian dalam pemberian kredit pada nasabah.
Tidak adanya agunan atau jaminan yang disyaratkan dalam pengajuan kredit inilah
yang menjadi titik lemah dari bank dalam memberikan perkreditan. Ini adalah
salah satu indikasi kuangnya penerapan prinsip kehati- hatian. Padahal jika
ditelisik dari aspek prinsip kehati- hatian ini merupakan aspek dasar yang
harus terpenuhi oleh bank guna meminimalisir segala bentuk kemungkinan yang
akan merugikan pihak bank yang ada dalam pemberian kredit.
Dalam pemenuhan dan penerapan KPB inilah yang kurang
dioptimalkan oleh pihak bank dalam kasus ini. Atau mungkin saja ada aturannya
namun dalam penerapannya yang kurang optimal, sehingga menimbulkan resiko
kredit macet oleh nasabah sebagai Debitur.
Adapun tujuan dari KPB ini adalah mengoptimalkan
pendapatan dan menngendalikan risiko bank dengan cara menerapkan asas- asas
perkreditan yang sehat. Selain itu, dengan penerapan dan pelaksanaan KPB secara
konsekuen dan konsisten, diharapkan bank dapat terhindar dari kemungkinan
penyalahgunaan wewenang oleh pihak- pihak yang tidak bertanggung jawab dalam
pemberian kredit.
Sedangkan kaitannya dengan analisis
kasus tersebut dengan Undang- Undang No 8/13/PBI/2006 atas perubahan Undang-
Undang No 7/3/PBI/2005 tentang batas maksimum pemberian kredit, kasus kredit
macet diatas belumlah dikatakan sebagai pelanggaran larangan terhadap ketentuan
BMPK tersebut karena pada dasarnya kredit yang diberikan pada debitur tersebut
tidak melampaui dari batasan yang telah dicantumkan pada undang- undang
tersebut, hanya saja pada kasus kredit macet tersebut lebih mengarah pada
kurang optimalnya penerapan syarat yang harus dipenuhi debitur pada bank yakni
berupa adanya jaminan. Sehingga kekurangan ini yang menjadi celah yang besar
sehingga terjadi kredit macet oleh debitur. Dalam hal ini sangat penting
penerapan manajemen kredit agar kejadian diatas tidak terjadi lagi sehingga
tidak menimbulkan berbagai pihak terutama pihak perbankan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1. Risiko
kredit adalah risiko kerugian yang berhubungan dengan peluang gagal memenuhi
kewajiban pada saat jatuh tempo
2. Terdapat 3 jenis risiko kredit,
antara lain risiko pemerintahan, risiko korporat, dan risiko konsumen.
3. Resiko
kredit dapat diukur dengan menggunakan metode dari Banking for International
Settlement (BIS) yaitu dengan mempertimbangkan rasio kecukupan modal
4. Ada beberapa cara pengelolaan risiko
kredit, antara lain: penyaringan, program pembatasan, diversifikasi
3.2
Saran
1.
Perlu adanya penelitian nyata mengenai
penerapan manajemen kredit di beberapa intansi khususnya bank.
DAFTAR
PUSTAKA
Hardanto SS. 2006. Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Jakarta(ID): Elex Media
Komputindo.
Djohanputra B. 2006. Manajemen risiko terintegrasi. Jakarta(ID): Penerbit PPM
Sastradipoera K. 2001. Manajemen Perbankan. Bandung(ID): Kappa Sigma
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
BalasHapusSaya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya telah scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzaninvestment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah Indonesia (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 72 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga dapat menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut