Senin, 17 Juli 2017

MAKALAH MANAJEMEN RISIKO ”RISIKO KREDIT”



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Bank merupakan lembaga intermediasi yang bertugas menerima simpanan dari nasabah dan meminjamkannya kepada nasabah (unit ekonomi) lain yang membutuhkan dana. Atas simpanan masyarakat, bank memberikan imbalan berupa bunga. Demikian pula, atas pemberian pinjaman (kredit) bank mengenakan bunga kepada para peminjam. Dengan kata lain bank sebagai lembaga keuangan yang berfungsi menghimpun dan menyalurkan dana dari dan ke masyarakat untuk meningkatkan pelayanan kepada para nasabah tanpa mengabaikan etika perbankan.
Salah satu kegiatan utama bank adalah menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa perkreditan merupakan aktivitas terbesar pada perbankan. Besarnya jumlah kredit yang disalurkan akan menentukan keuntungan bank. Jika bank tidak mampu menyalurkan kredit sementara dana dari masyarakat banyak disimpan, maka alternative lain bank bisa menyalurkan dananya melalui pasar uang maupun pasar modal. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang maksimal. Apabila bank tidak melakukan alternative lain selain menyalurkan kredit maka bank akan mengalami kerugian, karena harus membayar bunga simpanan kepada masyarakat.
Data Bank Indonesia menunjukan bahwa total kredit yang disalurkan perbankan mulai mengalami peningkatan. Hingga Oktober 2016, nilai kredit mencapai Rp 4.246,6 triliun. Nilai kredit mengalami pertumbuhan sebesar 7,4% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2015 (kompas.com 2016).
Perkembangan ekonomi yang semakin global tentu membawa peluang dan risiko yang semakin besar. Risiko kredit merupakan masalah besar bagi dunia perbankan, dan lembaga keuangan pada umumnya. Dengan demikian, risiko kredit perlu mendapatkan perhatian yang khusus. Setiap rupiah yang tidak tertagih menjadi kredit macet, yang kemudian menimbulkan biaya penyisihan dalam laporan laba/rugi.
Kredit disamping memberikan sumbangan terbesar terhadap laba, kredit juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rapuhnya usaha perbankan yaitu dengan tingginya risiko kredit. Risiko terkait dengan adanya ketidakpastian. Risiko kredit ditimbulkan oleh debitur yang secara kredit tidak dapat membayar utang dan memenuhi kewajiban seperti tertuang dalam kesepakatan atau turunnya kualitas debitur atau pembeli sehingga persepsi mengenai kemungkinan gagal bayar semakin tinggi. Risiko kredit perlu dikelola dengan baik karena apabila tidak dikelola dengan baik maka akan mengakibatkan proposi kredit yang bermasalah semakin besar, sehingga akan berdampak pada kondisi perbankan.
Pengendalian pada Risiko kredit tentu dilakukan oleh setiap bank. Pengendalian tersebut diantisipasi oleh kualitas suatu sistem manajemen risiko kredit yang baik untuk meminimalkan risiko kredit. Pengetahuan mengenai manajemen risiko kredit sangat penting dan berguna sebagai salah satu input alternative dalam mempertahankan kondisi perbankan agar tetap stabil.

1.2    Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini antara lain:
1.    Apa pengertian risiko kredit?
2.    Bagaimana jenis risiko kredit?
3.    Bagaimana proses pengukuran resiko kredit berdasarkan Banking for International Settlement (BIS)?
4.    Bagaimana cara manajemen resiko kredit?

1.3    Tujuan
Rumusan masalah makalah ini antara lain:
1.    Mengetahui pengertian dari risiko kredit.
2.    Mengidentifikasi jenis risiko kredit
3.    Mengetahui pengukuran resiko kredit berdasarkan Banking for International Settlement (BIS)
4.    Mengetahui cara manajemen resiko kredit




BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Resiko Kredit
Menurut Hardanto (2006), mengemukakan bahwa risiko kredit adalah risiko kerugian yang berhubungan dengan peluang gagal memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo. Dengan kata lain, risiko kredit adalah risiko karena peminjam tidak membayar utangnya. Risiko kredit timbul dari beberapa kemungkinan sebagai berikut :
a.    Debitur tidak dapat melunasi utangnya.
b.    Obligasi yang dibeli Bank, tidak membayar kupon dan atau pokok utang.
c.    Terjadinya non-performance (gagal bayar) dari semua kewajiaban antara bank dengan pihak lain.
Besarnya risiko kredit terdiri dari dua faktor yaitu besarnya eksposur kredit dan kualitas eksposur kredit. Besarnya eksposur kredit sama dengan besarnya pinjaman itu sendiri. Semakin besar pinjaman semakin besar juga tingkat eksposur kredit. Kualitas eksposur dicerminkan oleh kemungkinan gagal bayar dari debitur secara kredit dan kualitas dari jaminan yang diberikan oleh debitur atau pembeli kredit. Semakin rendah kualitas jaminan, semakin rendah kualitas kredit maka semakin tinggi risiko kredit yang dihadapi (Djohanputra 2004).
Menurut Sastradipoera (2001), risiko kredit merupakan salah satu risiko yang umum dihadapi oleh bank dalam pemberian kredit. Risiko kredit mengambil bagian terbesar dalam kegiatan perbankan karena pemberian pinjaman dan investasi merupakan bagian terbesar dalam aktiva bank.
a.    Risiko kredit timbul karena ketidakpastian pelunasan pinjaman oleh debitur. Kegagalan memenuhi perjanjian pelunasan sebagian atau seluruhnya.
b.    Risiko kredit merupakan risiko yang disebabkan oleh investasi yang tidak memberikan pendapatan atau bisa dikatakan risiko yang mengakibatkan pengurangan aktiva modal.

2.2    Jenis Resiko Kredit
Berdasarkan counterparty, risiko kredit dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1.    risiko kredit pemerintahan (sovereign credit risk)
Risiko kredit pemerintahan berhubungan dengan Pemerintah suatu negara yang tidak mampu membayar pokok dan bunga pinjamannya pada saat jatuh tempo, terutama pinjaman bilateral antarnegara.
2.    risiko kredit korporat (corporate credit risk)
Risiko kredit korporat adalah risiko gagal bayar dari perusahaan yang menerbitkan surat utang, gagal bayar dari perusahaan yang telah memperoleh kredit, serta gagal bayar dari perusahaan memperoleh penyertaan modal. Risiko korporat lebih berisiko dan lebih sering terjadi dalam Bank.
3.    risiko kredit konsumen (retail customer credit risk)
Risiko kredit konsumen adalah risiko kredit yang terkait dengan ketidakmampuan debitur perorangan dalam menyelesaikan pembayaran kreditnya.
Berdasarkan perbedaan menurut counterparty-nya seperti dijelaskan di atas, dapat dijelaskan lebih dalam bahwa risiko kredit konsumen membatasi pada pemberian kredit konsumen individu yang digunakan untuk tujuan konsumtif dan dalam hal ini sumber pengembalian kredit tidak berasal dari objek yang dibiayai. Sedangkan berdasarkan komponen utama dari risiko kredit, terbagi menjadi tiga komponen, yakni:
1.    probability of default, adalah kemungkinan debitur gagal untuk melakukan pembayaran sesuai yang diperjanjikan
2.    recovery rate, adalah bagian yang dapat diterima Bank apabila debitur default
3.    credit exposure, adalah hal-hal yang berkaitan dengan jumlah pinjaman pada saat terjadi default


2.3    Pengukuran Resiko Kredit Berdasarkan Banking for International Settlement (BIS)
Sebelum liberalisasi keuangan pada tahun 1970-an dan 1980-an regulasi keuangan yang dilakukan terfokus pada pemberian izin mendirikan lembaga keuangan; pembatasan yang tegas mengenai aktivitas yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan pada masing-masing institusi keuangan; definisi dari rasio-rasio pada neraca dan persyaratan giro wajib minimum. Pemecahan masalah dari regulasi diatas mulai dipikirkan sejak pertengahan dekade 1970-an.
Pendekatan “pengawasan dengan prinsip kehati-hatian” mulai dipertimbangkan dalam melakukan regulasi. Pemikiran mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian ini menjadi dasar munculnya ide para Banker internasional untuk keseragaman regulasi secara internasional yang dinamakan Basel Accord. Komite Basel (The Basel Committee) dicetuskan tahun 1974 dengan diprakarsai oleh para gubernur Bank Sentral negara-negara yang tergabung dalam G10 (the Group of Ten). Komite Basel pertama kali mempublikasikan The First Basel Capital Accord (BASEL I) pada tahun 1988 dan The Second Basel Capital Accord (BASEL II) pada tahun 2004.
Dalam ketentuan Basel I, rasio kecukupan modal hanya dikaitkan dengan risiko kredit dengan didasari oleh beberapa kalkulasi yang terdiri dari:
-       Bobot risiko aktiva dan bobot risiko
-       Penyetaraan dengan risiko kredit
-       Target rasio modal dan kalkulasi konsumsi modal yang memenuhi syarat
-       Kecukupan hasil pada modal yang memenuhi syarat
-       Struktur modal
Berdasarkan Basel I, Bank perlu memiliki kecukupan modal, karena:
-       Merupakan unsur terpenting bagi Bank dalam menjaga solvabilitas.
-       Modal merupakan sumber untuk menyerap kerugian Bank
-       Modal merupakan nilai investasi pemegang saham di Bank.
Basel I menentukan besarnya minimum rasio modal adalah 8%. Formula Rasio Modal :
Untuk pendekatan yang terdapat dalam Basel II berbeda secara mendasar dibandingkan dengan Basel I. Perbedaan ini terlihat dalam Tabel 2.1. berikut ini.
Tabel 2.1.
Perbandingan Basel I dengan Basel II
BASEL I
BASEL II
Fokus pada sebuah pengukuran tunggal Bank yang berbeda-beda
Fokus pada internal metodologi
Memiliki pendekatan yang sederhana terhadap sensitivitas risiko
Memiliki tingkat sensitivitas risiko yang lebih tinggi
Menggunakan pendekatan ”one single size fits all” pada risiko dan modal
Fleksibel untuk disesuaikan terhadap kebutuhan
Hanya mencakup risiko kredit dan risiko pasar
Mencakup risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, dan risiko lain-lain
Sumber: Global Association of Risk Professional (GARP), Basel II
Basel II menggunakan pendekatan baru untuk penilaian dan pengawasan Bank. Basel II adalah rekomendasi hukum dan ketentuan perbankan kedua yang merupakan penyempurnaan Basel I. Dalam Basel II mencakup tiga konsep yang dikenal Tiga Pilar, yakni:
·      Pilar 1 – Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (Minimum Capital Requirement). Dalam pilar ini, Bank diminta untuk mengkalkulasi modal minimum untuk risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional.
Risiko kredit dihitung dengan Standardized Approach dan Internal Rating Based (IRB) Approach yang terdiri dari Foundation IRB Approach dan Advanced IRB Approach. Risiko pasar dihitung dengan Standardized Approach dan Internal Model Approach. Risiko operasional dihitung dengan Basic Indicator Approach, Standardized Approach, dan Advanced Measurement Approach.
·      Pilar 2 – Tinjauan Berdasar Regulasi (Regulatory Overview). Pilar 2 fokus terhadap berbagai persyaratan modal diatas tingkat minimum yang dihitung pada Pilar 1, dan tindakan awal yang perlu dilakukan untuk menghadapi emerging risk. Pilar 2 mengandung tiga area utama sebagai berikut:
a.    Risiko konsentrasi kredit yang diberikan oleh Bank
b.    Interest rate in the Banking book risk.
c.    Risiko-risiko lain seperti risiko reputasi, risiko bisnis, risiko strategis, serta risiko yang timbul dalam menjalankan usaha Bank
·      Pilar 3 – Disiplin Pasar yang Efektif (Effective Use of Market Discipline) sebagai pengungkit untuk memperkuat keterbukaan dan mendorong agar Bank lebih aman dalam prakteknya.

2.4    Manajemen Resiko Kredit
Menurut Djohanputra (2004), Ada beberapa cara pengelolaan risiko kredit, diantaranya:
a.    Penyaringan
Cara ini menekankan pada pencegahan agar gagal bayar terhindar. Perlu tim yang baik untuk melakukan analisis dan pemeringkatan nasabah sehingga nasabah yang melakukan moral hazard dan moral hazard bisa dikeluarkan dari daftar calon nasabah.
b.    Program Pembatasan
Perusahaan menetapkan kebijakan untuk membatasi besarnya kredit yang diterima oleh satu nasabah atau satu grup nasabah. Dunia perbankan mengenal BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) atau 3L (Legal Leding Limit) yang bertujuan untuk membatasi pemberian kredit yang berlebihan kepada nasabah.
c.    Diversifikasi
Kredit Perusahaan menetapkan kebijakan mengenai diversifikasi pinjaman yang dikaitkan dengan pembatasan diatas. Kebijakan diversifikasi dapat berupa:
-       Sebaran kredit berdasarkan perusahaan.
-       Sebaran kredit berdasarkan industri.
-       Sebaran kredit berdasarkan ukuran perusahan.
-       Sebaran kredit berdasarkan sektor.

2.5    Studi dan Analisis Kasus
Studi Kasus
Kasus kredit macet yang dilakukan oleh salah satu nasabah Bank Danamon unit cabang kalangbret, tulungagung, jawa timur. Nasabah atas nama Titin setyani yang beralamatkan di desa Tambaksari, tulungagung. Nasabah ini mengajukan kredit pada bank danamon sebesar 15 juta tanpa jaminan dengan angsuran Rp 880.000/bulan dalam jangka waktu 24 bulan atau 2 tahun.
Pinjaman ini digunakan untuk modal usaha pengembangan usaha konveksinya. Pada angsuran pertama sampai angsuran ke 8 lancar dan dapat dipenuhi, tetapi pada angsuran berikutnya usahanya mengalami kebangkrutan dengan alasan banyak pelanggan yang berhutang padanya dan tidak membayar hutangnya pada bu Tintin ini. Disini ada kesalahan dalam pengaturan menajemen keuangan dalam usaha yang dilakukan oleh bu Titin ini.
Dikarenakan nasabah ini yang pada akhirnya menunggak ansuran setelahnya, pada bulan ke 4 tunggakan, dari pihak Bank mendatangi nasabah tersebut dan mencoba mencari jalan keluar yang bisa di tempuh kedua pihak.
Dari pihak Bank menawarkan pembayaran kekurangan tunggakan tersebut dengan cara memperpanjang tenggang waktu pembaaran dengan pengurangan nominal angsuran yang harus di bayar setiap bulannya, yakni sebesar  Rp 650.000/ bulan hingga kurangan tunggakan tersebut terpenuhi.
Tetapi kenyataannya karena si nasabah tersebut terbelit hutang dimana- mana, sehingga angsuran tersebut tidak terpenuhi juga dan hingga akhirnya nasabah ini pergi keluar kota dengan alasan kerja di loar kota guna membayar hutang- hutang nya.
Yang disayangkan dari pihak bank tersebut tidak meminta jaminan ketika memberikan kredit pada si nasabah ini. Sehingga, tidak ada barang digunakan oleh pihak bank untuk pelunasan dari kredit yang diberikan pada nasabah.

Analisis kasus
Dari kasus diatas dapat dikatakan sebagai kredit macet, karena menurut pendapat Suparmono (1997), Kredit macet adalah suatu keadaan dimana seorang nasabah tidak mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya.
Keadaan di atas dalam hukum perdata disebut ingkar janji atau wanprestasi. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa :
a.    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b.    Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
c.    Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
d.   Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Jika dihubungkan dengan kredit macet ada 3 poin yang berkenaan dengan wanprestasi di atas:
a.    Debitur sama sekali tidak bisa membayar angsuran kredit.
b.    Debitur membayar sebagian saja angsuran kredit.
c.    Debitur membayar lunas setelah jangka waktu diperjanjikan berakhir (terlambat).
Jadi pada intinya kredit macet merupakan kredit bermasalah dimana karena suatu hal seorang debitur mengingkari janji mereka membayar kredit yang telah jatuh tempo sehingga terjadi keterlambatan atau sama sekali tidak ada pembayaran maka timbulah apa yang disebut kredit macet.
Dari kasus diatas dapat diketahui dalam proses pekreditan tersebut terjadi kealpaan dalam hal penyertaan jaminan. Sehingga menimbulkan celah besar, sehingga terjadi kredit macet dalam pelaksanaannya.
Dengan tidak adanya jaminan dalam pekreditan ini, membuat beberapa unsur fungsi dari adanya jaminan sendiri hilang yang akhirnya menimbulkan terjadinya kredit macet tersebut, unsur yang hilang dari fungsi jaminan kredit diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Tidak adanya hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan cedera janji, yaitu untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah diperjanjikan sebelumnya.
b.    Semakin besarnya kemungkinan nasabah untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya.
c.    Tidak adanya dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat- syarat yang telah disetujui agar debitur dan/atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.
Sebab- sebab inilah yang pada akhirnya dijadikan peluang untuk nasabah tidak memenuhi tanggungannya. Selain mungkin diawal tiak ada maksud dari nasabah untuk melakukan tindakan lari dari tangggungan, tetapi karena adanya peluang semacam inilah yang merugikan pihak bank sendiri.
Dalam pemberian kredit, suatu bank pada hakikatnya harus menganut asas “mengambil resiko sekecil mungkin”. Risiko yang dimaksud adalah risiko terhadap kemungkinan nasabah tidak melunasi tanggungannya terhadap kreditur atau pihak bank itu sendiri.
Kaitannya dengan mengambil resiko sekecil mungkin dalam hal pemberian kredit tersebut sudah termaktub sebelumnya dalam keputusan Bank Indonesia dalam surat Direksi Bank Indonesia Nomor 27/127/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang kewajiban penyusunan dan Pelaksanaan Perkreditan Bank bagi bank umum, yang kemudian disebarluaskan melalui Surat Edaran Bnak Indonesia Nomor 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 perihal Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank Umum. Dalam ketentuan ini disebutkan setiap Bank Umum harus dan wajib memiliki Kebijakan Perkreditan Bank (KPB) secara tertulis dan disetujui oleh dewan komisaris bank, yang minimal harus mencakup beberapa aspek yang telah ditentukan dalam Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB). Yang meliputi:
1)   Prinsip kehati- hatian dalam perkreditan
2)   Organisasi dan manajemen perkreditan
3)   Kebijakan persetujuan kredit
4)   Dokumentasi dan administrasi kredit
5)   Pengawasan kredit
6)   Penyelesaian kredit bermasalah
Aspek yang hilang dari kasus diatas adalah kurangnya penerapan aspek prinsip kehati- hatian dalam pemberian kredit pada nasabah. Tidak adanya agunan atau jaminan yang disyaratkan dalam pengajuan kredit inilah yang menjadi titik lemah dari bank dalam memberikan perkreditan. Ini adalah salah satu indikasi kuangnya penerapan prinsip kehati- hatian. Padahal jika ditelisik dari aspek prinsip kehati- hatian ini merupakan aspek dasar yang harus terpenuhi oleh bank guna meminimalisir segala bentuk kemungkinan yang akan merugikan pihak bank yang ada dalam pemberian kredit.
Dalam pemenuhan dan penerapan KPB inilah yang kurang dioptimalkan oleh pihak bank dalam kasus ini. Atau mungkin saja ada aturannya namun dalam penerapannya yang kurang optimal, sehingga menimbulkan resiko kredit macet oleh nasabah sebagai Debitur.
Adapun tujuan dari KPB ini adalah mengoptimalkan pendapatan dan menngendalikan risiko bank dengan cara menerapkan asas- asas perkreditan yang sehat. Selain itu, dengan penerapan dan pelaksanaan KPB secara konsekuen dan konsisten, diharapkan bank dapat terhindar dari kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pihak- pihak yang tidak bertanggung jawab dalam pemberian kredit.
Sedangkan kaitannya dengan analisis kasus tersebut dengan Undang- Undang No 8/13/PBI/2006 atas perubahan Undang- Undang No 7/3/PBI/2005 tentang batas maksimum pemberian kredit, kasus kredit macet diatas belumlah dikatakan sebagai pelanggaran larangan terhadap ketentuan BMPK tersebut karena pada dasarnya kredit yang diberikan pada debitur tersebut tidak melampaui dari batasan yang telah dicantumkan pada undang- undang tersebut, hanya saja pada kasus kredit macet tersebut lebih mengarah pada kurang optimalnya penerapan syarat yang harus dipenuhi debitur pada bank yakni berupa adanya jaminan. Sehingga kekurangan ini yang menjadi celah yang besar sehingga terjadi kredit macet oleh debitur. Dalam hal ini sangat penting penerapan manajemen kredit agar kejadian diatas tidak terjadi lagi sehingga tidak menimbulkan berbagai pihak terutama pihak perbankan.


BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
1.    Risiko kredit adalah risiko kerugian yang berhubungan dengan peluang gagal memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo
2.                Terdapat 3 jenis risiko kredit, antara lain risiko pemerintahan, risiko korporat,  dan risiko konsumen.
3.    Resiko kredit dapat diukur dengan menggunakan metode dari Banking for International Settlement (BIS) yaitu dengan mempertimbangkan rasio kecukupan modal
4.                Ada beberapa cara pengelolaan risiko kredit, antara lain: penyaringan, program pembatasan, diversifikasi

3.2    Saran
1.    Perlu adanya penelitian nyata mengenai penerapan manajemen kredit di beberapa intansi khususnya bank.




DAFTAR PUSTAKA

Hardanto SS. 2006. Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Jakarta(ID): Elex Media Komputindo.
Djohanputra B. 2006. Manajemen risiko terintegrasi. Jakarta(ID): Penerbit PPM
Sastradipoera K. 2001. Manajemen Perbankan. Bandung(ID): Kappa Sigma



1 komentar:

  1. Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya telah scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzaninvestment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah Indonesia (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 72 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga dapat menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus